www.metrosuara.id – Belakangan ini, lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan royalti musik di Indonesia, mendapat perhatian yang cukup besar dari masyarakat. Berbagai tuduhan dan perdebatan muncul berkaitan dengan cara lembaga tersebut menagih royalti dari pemutar lagu di tempat-tempat umum.
Baru-baru ini, sebuah unggahan di media sosial menjadi pemicu keributan. Postingan tersebut menampilkan seorang manajer hotel yang menunjukkan surat dari lembaga pengelola royalti yang menyatakan kewajiban untuk membayar royalti jika memutar musik di hotelnya.
Surat tersebut mengisyaratkan bahwa setiap lagu dan musik yang diputar di tempat komersial diharuskan memiliki lisensi resmi. Hal ini memicu reaksi dari sang manajer hotel, yang dengan tegas membantah bahwa apa yang diputar di hotelnya bukanlah musik, melainkan suara burung yang direkam dari peliharaannya sendiri.
Polemik Royalti dan Reaksi Publik yang Meningkat
Sebelum perdebatan ini mencuat, lembaga pengelola royalti telah mengeluarkan pernyataan bahwa suara alam, termasuk suara burung, juga terkena kebijakan royalti. Penjelasan ini menggandrungi banyak diskusi dan opini di kalangan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, seorang komisioner dari lembaga ini menjelaskan bahwa peraturan ini berlaku khusus untuk rekaman suara burung yang memiliki pemegang hak cipta. Dengan kata lain, suara burung yang direkam dan diproduksi oleh pihak tertentu bisa jadi objek royalti.
Mengikuti aturan ini, banyak pemilik tempat usaha mulai merasa khawatir akan dampaknya terhadap operasional mereka. Banyak yang berpikir bahwa ini bisa menjadi beban tambahan di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu.
Kritik Terhadap Lembaga Manajemen Kolektif
Di tengah pro dan kontra ini, banyak kalangan mulai mempertanyakan fungsi dari lembaga manajemen kolektif tersebut. Beberapa netizen bahkan menyamakan cara mereka menagih royalti dengan cara organisasi masyarakat (ormas) yang kadang terlalu agresif dalam mengeksekusi kewajiban.
Pernyataan dari sang manajer hotel pun memicu penilaian bahwa lembaga ini perlu lebih peka terhadap situasi. “Jangan seperti ormas. Pernah ngecek dulu nggak?,” sindirnya saat menanggapi surat yang diterimanya.
Kritik ini tidak hanya disuarakan secara verbal, tetapi juga terlihat melalui berbagai unggahan di platform media sosial, di mana masyarakat mengekspresikan ketidakpuasan terhadap cara lembaga ini menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Penjelasan Resmi dari Lembaga Terkait
Dalam upaya untuk menjernihkan suasana, lembaga pengelola royalti melakukan konferensi pers untuk menjelaskan peraturan dan kebijakan mereka. Dedy Kurniadi, salah satu komisioner, menjelaskan bahwa aturan ini sudah ada untuk melindungi hak cipta bagi produser rekaman suara.
Di kesempatan tersebut, Dedy juga menyampaikan bahwa semua ini dilakukan dengan niat baik untuk menjaga kesejahteraan para pencipta lagu. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa reaksi masyarakat sejauh ini memang cukup berlebihan.
Dedy berharap, ke depan masyarakat bisa lebih paham bahwa royalti bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang menghargai karya seni. Penyelesaian baik dan harmoni antara pengelola dan pengguna musik perlu ditingkatkan.
Mencari Penyelesaian yang Win-Win bagi Semua Pihak
Masyarakat kini berharap agar semua pihak bisa menemukan jalan tengah. Jika baik pengelola royalti maupun pelaku usaha sama-sama mendengarkan suara satu sama lain, maka permasalahan ini tentunya bisa diselesaikan lebih baik.
Pendekatan dialogis yang lebih intens mungkin diperlukan agar pemahaman mengenai aturan-aturan ini dapat terbangun dengan baik. Selain itu, solusi yang lebih adil bagi pelaku usaha juga patut dicari supaya tidak ada yang merasa dirugikan.
Di sisi lain, pengelola juga harus memahami bahwa tidak semua tempat usaha memiliki kapasitas untuk membayar royalti secara semena-mena. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang lebih fleksibel dan tidak memberatkan.