www.metrosuara.id – Belakangan ini, masyarakat di berbagai daerah Indonesia merasakan cuaca yang sangat panas di siang hari, namun tiba-tiba berubah menjadi hujan deras di sore atau malam hari. Fenomena cuaca ini merupakan tanda peralihan dari musim hujan menuju musim kemarau.
Menurut informasi yang dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, masa transisi ini berpotensi mengubah kondisi atmosfer dan membentuk awan konvektif seperti Cumulonimbus (CB). Awan ini dapat memicu berbagai kondisi cuaca ekstrem, termasuk hujan lebat, petir, angin kencang, dan bahkan hujan es.
Proses peralihan ini menunjukkan bahwa memasuki musim kemarau pada bulan April hingga Juni 2025, diperkirakan sekitar 57,7% wilayah Indonesia, atau 403 Zona Musim (ZOM), akan terpengaruh. Data ini menunjukkan pentingnya persiapan masyarakat untuk menghadapi perubahan cuaca yang akan datang.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa puncak musim kemarau diprediksi akan terjadi pada bulan Agustus, dengan durasi yang lebih singkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya pada 298 ZOM, yang meliputi 43% wilayah Indonesia. Ini merupakan informasi yang krusial untuk para petani dan masyarakat yang bergantung pada pola cuaca untuk aktivitas sehari-hari mereka.
Dalam sepekan terakhir, hujan dengan intensitas tinggi telah tercatat di beberapa wilayah. Misalnya, pada 9 Mei 2025, di Kabupaten Jembrana, Bali, tercatat curah hujan sebesar 121,4 mm/hari. Di kota Tangerang Selatan, Banten, pada 10 Mei, curah hujan mencapai 103,0 mm/hari. Selain itu, pada 11 Mei, Kabupaten Sleman di DIY mencatat 115,3 mm/hari, dan seterusnya. Catatan ini menunjukkan variasi yang signifikan dalam kondisi cuaca antar wilayah.
Dengan kondisi atmosfer yang fluktuatif dan kemungkinan perubahan cuaca yang mendadak, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan. Khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah rawan banjir atau longsor, memantau perkembangan cuaca dan siap siaga adalah langkah bijak yang perlu diterapkan.