www.metrosuara.id – Meningkatnya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum di Indonesia menjadi berita yang menarik perhatian. Di tengah banyaknya kritik terhadap ketidakadilan hukum, hasil survei menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, melebihi lembaga lain dalam periode sepuluh tahun terakhir.
Survei yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 61% masyarakat Indonesia mempercayai Kejaksaan Agung. Angka ini lebih tinggi dibandingkan kepercayaan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (60%) dan Kepolisian Republik Indonesia (54,3%).
Peneliti dari LSI, Adjie Alfarabie, menyatakan bahwa data ini bukan sekadar angka tetapi mencerminkan perubahan psikologis masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Dalam konteks ini, Kejaksaan Agung berperan penting dalam menciptakan rasa percaya di kalangan masyarakat.
Kejaksaan Agung mencuri perhatian dengan keberaniannya mengusut kasus-kasus besar. Kasus seperti korupsi BTS Kominfo dengan nilai mencapai Rp 8 triliun dan perkara Duta Palma yang mencapai Rp 78 triliun menunjukkan komitmen lembaga ini dalam menegakkan hukum. Praktik semacam ini menciptakan momentum yang positif bagi citra Kejaksaan Agung di mata publik.
Perubahan Persepsi Masyarakat Terhadap Kejaksaan Agung
Dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan Agung tampaknya telah berhasil melakukan rehabilitasi moral. Tindakan ini penting karena sebelumnya lembaga ini sering kali dianggap kurang transparan dan terpengaruh oleh KPK.
Menurut peneliti Ardian Sopa, keberhasilan ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai melihat Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang bekerja untuk keadilan. Dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan lembaga keamanan, Kejaksaan Agung semakin percaya diri dalam menjalankan tugasnya.
Dukungan dari pemerintah, termasuk Presiden, menjadi salah satu faktor pendorong bagi Kejaksaan Agung. Ini menunjukkan bahwa lembaga ini tidak beroperasi sendirian, melainkan memiliki dukungan kuat dari pilar kekuatan lainnya.
Dampak Budaya Viral Terhadap Penegakan Hukum
Kendati demikian, penegakan hukum kini terjebak dalam fenomena budaya viral yang semakin mendominasi. Ada anggapan di masyarakat bahwa jika sebuah kasus tidak mencuri perhatian di media sosial, maka penanganannya akan lambat bahkan terhenti.
Host dari sebuah podcast lokal menyoroti fenomena ini dengan menyebut istilah “No Viral, No Justice.” Fenomena ini adalah ironi dalam penegakan hukum, di mana lembaga hukum lebih responsif terhadap sorotan media sosial daripada mendalami substansi kasus itu sendiri.
Fenomena ini membuat lembaga penegak hukum menjadi tertekan untuk selalu tampil di depan publik. Akibatnya, mereka mungkin kehilangan esensi dari tugas mereka jika hanya fokus pada popularitas di platform-platform digital.
Strategi Baru untuk Meningkatkan Akuntabilitas Penegakan Hukum
Agar tetap relevan di era digital, lembaga hukum perlu menerapkan strategi baru dalam mengelola sorotan publik. Hal ini meliputi peningkatan transparansi dalam proses hukum dan respons terhadap pertanyaan masyarakat.
LSI menyarankan agar lembaga penegak hukum aktif dalam berkomunikasi dengan publik melalui kanal resmi. Investigasi yang mendalam juga perlu dilakukan untuk mempertahankan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat.
Selain itu, jurnalisme investigatif harus diperkuat agar dapat berfungsi sebagai pengawas terhadap praktik penegakan hukum. Ini menjadi penting agar informasi yang disampaikan kepada publik akurat dan kredibel.
Tantangan Masa Depan Bagi Kejaksaan Agung
Meski mendapatkan pengakuan tinggi, Kejaksaan Agung masih dihadapkan pada berbagai tantangan ke depan. Salah satunya adalah mempertahankan tingkat kepercayaan ini di tengah dinamika sosial yang terus berubah.
Reputasi lembaga ini dapat dengan mudah tergoyahkan jika tidak ada tindakan nyata yang diambil untuk menangani kasus-kasus penting. Kegagalan untuk melaksanakan tugas dengan baik akan mengakibatkan penurunan kepercayaan masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi Kejaksaan Agung untuk terus beradaptasi dan memperbaiki diri. Ini termasuk membangun hubungan yang baik dengan masyarakat dan berkomitmen untuk melayani keadilan dengan sebaik-baiknya.