www.metrosuara.id – Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, berpendapat bahwa berdasarkan konstitusi, syarat untuk memakzulkan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, sebenarnya sudah terpenuhi dengan baik. Dalam sebuah diskusi publik, ia menyoroti sejumlah alasan yang mendasari potensi pemakzulan tersebut, yang dapat berdampak besar pada lanskap politik saat ini.
Pengamat hukum tersebut menyampaikan pandangannya ketika menjadi narasumber dalam acara bertajuk “Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?” Acara ini diselenggarakan oleh sebuah lembaga pemantau sumber daya pemerintahan, dan dihadiri oleh berbagai tokoh dan masyarakat umum yang peduli terhadap isu-isu politik terkini.
Menurut Zainal, terdapat tiga alasan utama yang dapat dijadikan dasar pemakzulan sesuai dengan pasal 7A-7B Undang-Undang Dasar 1945. Alasan tersebut mencakup pelanggaran pidana, pelanggaran administratif, dan perbuatan tercela yang dapat merugikan publik serta negara.
Analisis Terhadap Pelanggaran Pidana dan Administratif
Unsur pelanggaran pidana yang dimaksud Zainal, merujuk pada laporan yang diajukan oleh seseorang mengenai dugaan keterlibatan Gibran dalam sejumlah kasus korupsi. Laporan tersebut menjadi sorotan utama dalam diskusi, menunjukkan adanya potensi pelanggaran yang dapat berujung pada pemdoan hukum.
Sementara itu, aspek administratif yang juga disoroti menyangkut persoalan legalitas ijazah dan tahapan verifikasi yang seharusnya dilalui. Ketidakjelasan atau pelanggaran dalam hal ini juga dapat memperkuat argumen untuk pemakzulan.
Dengan adanya bukti yang mendukung dari kedua aspek tersebut, semakin jelas bahwa peluang untuk mempertanyakan posisi Gibran dalam pemerintahan terbuka lebar. Masyarakat pun berhak mengetahui transparansi dan integritas pejabat publik yang mereka pilih.
Pentingnya Mengkaji Perbuatan Tercela
Lebih jauh, Zainal mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah perbuatan tercela yang dapat dipertimbangkan. Ia mencontohkan adanya nepotisme serta isu-isu kontroversial yang melibatkan Gibran dalam dinamika politik yang tidak etis. Hal ini menambah berat risiko pemakzulan yang mungkin dihadapinya.
Dalam pandangannya, perbuatan tercela tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berdampak pada masyarakat luas. Dengan itu, proses pengawasan terhadap cara seorang pemimpin menjalankan tugasnya menjadi sangat penting untuk dilaksanakan secara terus-menerus.
Selain itu, Zainal menekankan bahwa sebuah pemerintahan yang bersih dan transparan sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik. Oleh karena itu, setiap tindakan yang mencoreng reputasi publik harus ditindaklanjuti dengan serius.
Hambatan Politik dalam Proses Pemakzulan
Meskipun Zainal menguraikan adanya landasan hukum yang kuat untuk pemakzulan, ia juga menyoroti bahwa proses tersebut tidaklah mudah. Hambatan politik yang ada dapat menjadi rintangan besar dalam mewujudkan langkah tersebut. Koalisi pendukung Gibran dan Prabowo yang kuat menjadi salah satu faktor utama yang mungkin menghalangi proses ini.
Jika kekuatan politik tersebut tetap solid, Zainal menyatakan bahwa akan menjadi sulit bagi DPR untuk mengambil langkah nyata. Kekuatan koalisi pemerintah sering kali menjadi penghalang untuk mendorong suatu perubahan yang tidak diinginkan oleh semua pihak.
Dinamis politik dalam negeri menunjukkan bahwa walaupun ada dasar hukum yang ada, proses pemakzulan perlu mempertimbangkan realitas di lapangan yang diwarnai oleh tarik menarik kepentingan politik. Oleh karena itu, dibutuhkan keteguhan dan kebijaksanaan dalam menghadapi situasi ini.
Peran Mahkamah Konstitusi dalam Proses Hukum
Zainal juga mengkritisi peran Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggapnya tidak netral dalam menyikapi isu-isu hukum yang ada. Menurutnya, institusi yang seharusnya menjaga keadilan dan ketentuan hukum kini terjebak dalam pengaruh politik, sehingga mengurangi kredibilitasnya di mata publik.
Ketidaknetralan ini bisa sangat berpengaruh pada berbagai keputusan berkaitan dengan pemakzulan atau tindakan hukum lainnya. Publik berhak memperoleh keadilan tanpa ada intervensi dari kepentingan politik manapun.
Dalam konteks ini, penting untuk mengembalikan jalur objektivitas MK sehingga dapat berfungsi dengan baik menjamin keadilan bagi masyarakat. Hanya dengan cara ini, kepercayaan publik terhadap sistem hukum bisa kembali terbangun dengan baik.